GOOD GOVERNANCE
MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Pancasila dan Pendidikan
Kewargaan
Dosen Pengampu: Nurrochman, M.Hum
Disusun
oleh:
1. Rohmad Afdul Azis 12600020
2. Nur Faidah 12600021
3. Farizal Tanjung E. 12600022
4. Yunistisa Ananda 12600023
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS
SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
2012
KATA
PENGANTAR
ÉOó¡Î0
«!$#
Ç`»uH÷q§9$#
ÉOÏm§9$#
Puji
syukur penulius panjatkan kepada Allah SWT.. Shalawat dan salam selalu tercurahkan
kepada Rasulullah SAW. Berkat limpahan dan rahmat-Nya penulis mampu
menyelesaikan makalah yang berjudul GOOD GOVERNANCE. Makalah ini berisikan Urgensi, Prinsip-prinsip, serta Indikator dari Good Governance.
Makalah
ini disusun agar pembaca mengetahui apa itu Good Governance dan untuk memenuhi
tugas mata kuliah Pancasila dan Pendidikan Kewargaan. Dalam penyusunan makalah
ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
membantu menyelesaikan makalah ini, khususnya kepada:
1.
Nurrochman, M.hum
selaku dosen pengampu mata kuliah Pancasila dan Pendidikan Kewargaan,
2.
Secara
khusus penulis menyampaikan terima kasih kepada keluarga tercinta yang telah
memberikan dorongan dan bantuan serta pengertian kepada penulis dalam
penyusunan makalah ini,
3.
Semua
pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan
dalam penyusunan makalah ini.
Penulis
menyadari bahwa makalah ini belum sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran
semua pihak yang bersifat membangun selalu penulis harapkan demi kesempurnaan
makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang luas dan menjadi
sumbangan pemikiran kepada pembaca. Amin.
Yogyakarta, 14 April 2013
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR ...................................................................................... 2
DARTAR
ISI .................................................................................................. 3
BAB
I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah................................................................................ 4
B.
Rumusan Masalah
...................................................................................... 5
C.
Tujuan Penulisan
........................................................................................ 5
BAB
II PEMBAHASAN
A.
Urgensi Good Governance......................................................................... 6
B.
Prinsip-Prinsip Good
Governance ............................................................. 7
C.
Indikator Good Governance .................................................................... 13
BAB
III SIMPULAN ..................................................................................... ....
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Pada bulan
Agustus 2013, usia bangsa ini genap 68 tahun. Namun, hal itu tidak dibarengi dengan kemajuan yang
berarti. Justru hasil-hasil yang telah dicapai oleh bangsa ini masih jauh dari
harapan kita semua. Bahkan perkembangan terakhir menjurus pada kondisi
disintegrasi bangsa dan ancaman serius bagi keberlangsungan Negara republik
Indonesia.[1]
Dengan
pergantian pemerintah, dari masa orde lama ke masa orde baru, yang dilanjutkan
dengan pemerintahan reformasi sampai sekarang ini, yang diharapkan mampu
belajar dari kesalahan dan kelemahan pendahulunya, ternyata tidak membawa
perubahan berarti. Berbagai persoalan bangsa yang dihadapi pada hakikatnya
bersumber pada adanya kesalahan kebijakan, penyimpangan dan penyalahgunaan
kekuasaan, khususnya yang berkaitan dengan penyelengaraan fungsi dan tugas
pemerintahan.
Dilihat dari
sumber masalahnya, maka tidak bisa dipungkiri bahwa kesalahan kebijakan dan
penerapannya adalah menjadi bagian dari tanggungjawab pemerintahan, baik
pemerintah yang lalu maupun pemerintah yang saat ini. Dalam kata lain
pertanggungjawaban itu harus terwujud dalam suatu agenda penyelenggaraan good
governance. Sebab dengan agenda inilah, cita-cita bangsa untuk mewujudkan suatu
masyarakat madani akan menjadi suatu
kenyataan.[2]
Salah satu isu
yang diwacanakan adalah good governance. Istilah good governance secara
berangsur menjadi popular baik dikalangan pemerintahan, swasta maupun
masyarakat secara umum. Di Indonesia, istilah ini secara umu diterjemahkan dengan pemerintahan yang baik. Meskipun ada
beberapa kalangan yang konsisten menggunakan istilah aslinya, karena dipandang
luasnya dimensi governance yang tidak bisa direduksi hanya menjadi pemerintah
semata. Istilah ini pertama kali dipolpulerkan oleh lembaga dana internasional
seperti Wolrd Bank, UNDP, IMF dalam rangka menjaga dan menjamin kelangsungan
dana bantuan yang diberikan kepada negara-negara sasaran bantuan. [3]
Good Governance
sebagai sebuah paradigm dapat terwujud bila ketiga pilar pendukungnya dapat
berfungsi secara baik, yaitu negara, sektor swasta, dan masyarakat madani
(civil society). Negara dengan birokrasi pemerintahannya dituntut untuk merubah
pola pelanyanan dari birokrasi elitis menjadi birokrasi populis. Sektor swasta
sebagai pengolah sumber daya di luar negara dan birokrasi pemerintahan, harus
memberikan konstribusi dalam usaha pengelolaan sumber daya tersebut. Penerapan
cita Good Governance pada akhirnya mensyaratkan adanya keterlibatan organisasi
kemasyarakatan sebagai kekuatan pengembang Negara.[4]
B. RUMUSAN
MASALAH
a. Bagaimana
urgensi dari Good Governance ?
b. Apa
saja prinsip-prinsip dari Good Governance ?
c. Apa
saja indikator dari Good Governance ?
C. TUJUAN
PENULISAN
a. Mengetahui
urgensi dari Good Governance.
b. Mengetahui
prinsip-prinsip dari Good Governance.
c. Mengetahui
indikator dari Good Governance.
BAB II
PEMBAHASAN
A. URGENSI GOOD GOVERNANCE
Menurut bahasa Good Gavernance diartikan dengan
“pemerintahan yang baik”. Sedangkan menurut istilah good
governance adalah suatu kesepakatan menyangkut pengaturan negara yang diciptakan
bersama oleh pemerintah, masyarakat madani (civil society) dan sektor
swasta. Kesepakatan tersebut mencakup keseluruhan bentuk mekanisme, proses dan
lembaga-lembaga di mana warga dan kelompok masyarakat mengutarakan
kepentingannya, menggunakan hak hukum, memenuhi kewajiban dan menjembatani
perbedaan di antara mereka
Menurut
MM.Billah, istilah ini merujuk pada arti asli kata “Governing” yang berarti
mengarahkan atau mengendalikan atau mempengaruhi masalah publik dalam satu negeri. Karena itu good governance dapat
diartikan sebagai tindakan atau tingkah laku yang didasarkan pada nilai-nilai
yang bersifat mengarahkan, mengendalikan atau mempengaruhi masalah publik untuk mewujudkan nilai-nilai itu dalam tindakan dan
kehidupan keseharian. Dengan demikian ranah Good Governance tidak terbatas pada negara atau birokrasi
pemerintahan, tetapi juga pada ranah masyarakat sipil yang dipresentasikan oleh
organisasi non-pemerintah (ornop) seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan
juga sektor swasta. Singkatnya, tuntutan terhadap Good Governance tidak
selayaknya ditujukan hanya kepada penyelenggara negara atau pemerintahan yang
secara getol dan bersemangat menuntut penyelenggara Good Governance pada
negara.
Menurut Taylor, Good Governance adalah pemerintahan demokratis seperti yang
dipraktikkan dalam negara-negara demokrasi maju di Eropa Barat dan Amerika
misalnya. Pada dasarnya konsep Good Governance memberikan rekomendasi pada
system pemerintahan yang menekankan kesetaraan antara lembaga-lembaga negara
baik di tingkat pusat maupun daerah, sektor swasta, dan masyarakat madani
(civil society). Good Governance berdasarkan pandangan ini berarti suatu
kesepakatan menyangkut pengaturan negara yang diciptakan bersama oleh
pemerintahan, masyarakat madani dan sektor swasta.
Santosa menjelaskan Good Governance sebagaimana didefinisikan (United
Nations Development Programme) UNDP adalah pelaksanaan politik,ekonomi, dan
administrasi dalam mengelola masalah-masalah bangsa. Pelaksanaan kewenangan
tersebut bisa dikatakan baik (good atau sound) jika dilakukan dengan efektif
dan efesien, responsive terhadap kebutuhan rakyat, dalam suasana demokratis,
akuntable serta transparan.
Dengan demikian good gavernance adalah pemerintahan yang baik dalam
standar proses dan maupun hasil-hasilnya, semua unsur pemerintahan bisa
bergerak secara sinergis, tidak saling berbenturan, memperoleh dukungan dari
rakyat dan terlepas dari gerakan-gerakan anarkis yang dapat menghambat proses
pembangunan. Dikategorikan pemerintahan yang baik, jika pembangunan itu dapat
dilakukan dengan biaya yang sangat minimal menuju cita-cita kesejahteraan dan
kemakmuran, memperlihatkan hasil dengan indikator kemampuan ekonomi rakyat
meningkat, kesejahteraan spritualitasnya meningkat dengan indikator masyarakat
rasa aman, tenang, bahagia dan penuh dengan kedamaian.
B.
PRINSIP-PRINSIP GOOD GOVERNANCE
Lembaga Administrasi Negara (LAN) menyimpulkan 9
aspek fundamental dalam perwujudan good governance, yaitu :
1. Partisipasi
(participation)
Semua warga masyarakat
berhak terlibat dalam pengambilan keputusan, baik langsung maupun melalui
lembaga perwakilan yang sah untuk mewakili kepentingan mereka. Misalkan
berkumpul dan mengungkap-kan
pendapat serta berpartisipasi secara konstruktif.
Paradigma birokrasi
adalah central for public service harus diikuti dengan deregulasi berbagai
aturan, sehingga
proses usaha dapat dilakukan dengan efektif dan efisien. Aparat pemerintah juga
harus mengubah paradigma dari penguasa birokrat menjadi pelayan masyarakat (public
service), dengan memberikan
pelayanan yang baik sehingga mereka memiliki legitimasi dari masyarakat, karena
tidak mungkin sebuah bangsa
akan maju dengan cepat tanpa partispasi penuh dari warganya.
2. Penegakan
hukum (Rule of law)
Partisipasi masyarakat
dalam proses polilik memerlukan sistim dan aturan-atura hukum. Tanpa diimbangi
oleh hukum dan penegakannya yang kuat, partisipasi akan berubah menjadi proses
politik yang anarkis. Pelaksana kenegaraan dan pemerintahan juga harus ditata
oleh sebuah sistem dan aturan hokum yang kuat dan memiliki kepastian.
Santosa menegaskan,
bahwa untuk menegakan rule of law, dengan karakter-karakter berikut :
a. Supremasi
hukum (the supremasi of law
b. Kepastian
hukum (legal certainty)
c. Hukum
yang responsif
d. Penegakan
hukum yang konsisten dan non-diskriminatif
e. Independensi
peradilan
3. Transparansi
(Transparency)
Korupsi sebagai
tindakan yang harus dihindari dalam upaya menuju good governance, karena selain
merugikan Negara juga menghambat efektifitas dan efisiensi proses birokrasi dan
pembangunan sebagai ciri utama good governance.
Salah satu yang
dapat menimbulkan dan memberi ruang gerak kegiatan korupsi adalah menejemen
pemerintahan yang tidak transparan. Oleh karena itu Michael Camdessus (1997),
dalam salah satu rekomendasinya pada PBB untuk memulihkan perekonomian
Indonesia perlu tindakan pemberantasan korupsi dan penyelenggaraan pemerintahan
yang transparan, khususnya transparan dalam transaksi keuangan Negara, pengelolaan
uang di bank sentral (BI), serta transparansi sektor-sektor publik.
4.
Responsif (Responsiveness)
Salah satu asas
fundamental menuju good governance adalah responsif, yakni pemerintah harus
peka terhadap persoalan-persoalan masyarakat. Sesuai dengan asas responsif,
maka setiap unsur pemerintah harus memiliki dua etik, yakni etik individual
yaitu memiliki kriteria kapabilitas
dan loyalitas professional serta etik sosial yaitu memiliki sensitifitas terhadap
berbagai kebutuhan publik.
5.
Konsensus (Consensus
Orientation)
Pengambilan keputusan
secara konsensus, yakni pengambilan putusan melalui musyawarah dan berdasar
kesepakatan bersama. Cara pengambilan keputusan tersebut selain dapat memuaskan
semua pihak atau sebagian besar pihak, juga dapat menarik komitmen komponen
masyarakat sehingga memiliki legitimasi untuk melahirkan coercive (kekuatan
memaksa) dalam upaya mewujudkan efektifitas pelaksanaan keputusan.
6.
Kesetaraan dan Keadilan
(Equity)
Terkait dengan asas
konsensus, transparansi, dan responsif, good governance juga haru didukun
dengan asas equity, yakni kesamaan dalam perlakuan (treatment) dan pelayanan.
Asas ini dikembangkan berdasarkan pada kenyataan bahwa bangsa Indonesia
tergolong bangsa yang plural, baik dari segi etnik, agama dan budaya.
Pluralisme ni dapat memicu masalah apabila dimanfaatkan dalam kontek
kepentingan sempit seperti primordialisme, egoism, dan sebagainya. Karenanya
prinsip equity harus diperhatikan agar tidak memunculkan ekses yang tidak
diinginkan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Proses pengelolaan
pemerintahan haru memberikan peluang, kesempatan, pelayanan dan treatment yang
sama dalam koridor kejujuran dan keadilan. Tidak ada seorang atau kelompok ynag
teraniaya dan tidak memperoleh apa yang menjadi haknya. Pola pengelolaan
pemerintahan seperti ini akan memperoleh legitimasi yang kuat dari publik dan
akan memperoleh dukungan serta partisipasi yang baik dari rakyat.
7. Efektivitas (Effectiveness) dan Efisien (Efficiency)
Pemerintah yang
baik juga harus memenuhi kriteria efektivitas dan efisiensi, yakni berdayaguna
dan berhasilguna. Kriteria efektivitas diukur dengan parameter produk yang
dapat menjangkau besarnya kepentingan masyarakat dari berbagai kelompok dan
lapisan sosial. Sedangkan efesiensi diukur dengan rasionalitas biaya
pembangunan untuk memenuhi kebutuhan semua masyarakat. Semakin kecil biaya yang
terpakai untuk kepentingan yang besar, maka pemerintahan itu termasuk dalam
kategori pemerintahan yang efisien. Citra itulah yang menjadi tuntunan dalam
upaya mewujudkan cita good governance.
Agar
pemerintahan itu efektif dan efisien, maka para pejabat, perancang dan
pelaksana tugas-tugas pemerintahan harus mampu menyusun perencanaan-perencanaan
yang sesuai dengan kebutuhan nyata dari masyarakat, secara rasionanl dan
terukur. Sehingga harapan partisipasi masyarakat dapat digerakkan dengan mudah,
karena program-program itu menjadi dari kebutuhan mereka.
8. Akuntabilitas
(Accountability)
Asas
akuntabilitas berarti pertanggungjawaban pejabat publik terhadap masyarakat
yang memberinyadelegasi dan kewenangan utuk mengurusi berbagai urusan dan
kepentingan mereka. Setiap pejabat publik dituntut untuk mempertanggungjawabkan
semua kebijakan, perbuatan, moral, maupun netralitas sikapnya terhadap
masyarakat. Inilah yang dituntut dalam asas akuntabilias dalam upaya menuju
cita good governance.
Secara teoritik,
akuntabilitas menyangkut dua dimensi, yakni akuntabilitas vertikal dan
akuntabilitas horizontal. Akuntablitas vertikal menyangkut hubungan antara
pemegang kekuasaan dengan rakyatnya, antara pemerintah dan warganya. Pemegang
kekuasaan atau jabatan publik dalam struktur kenegaraan harus menjelaskan
kepada rakyat apa yang telah, sedang dan akan dilakukannya dimasa yang akan
datang, sebagai wujud akuntabilitas manajerialnya terhadap publik yang memberi
kewenangan. Akuntabilitas vertikal juga bermakna bahwa setiap pejabat harus
mempertangggung-jawabkan
berbagai kebijakan dan pelaksanaan tugas-tugasnya terhadap atasan yang lebih
tinggi.
Sementara
akuntabilitas horizontal adalah pertanggungjawaban pemegang jabatan publik pada
lembaga yang setara, seperti Gubernur dengan DPRD tingkat I, Bupati dengan DPRD
tingkat II, dan Presiden dengan DPR pusat, yang pelaksanaannya bias dilakukan
oleh para Menteri sebagai pembantu Presiden. Jika mereka melakukan pelanggaran
etika dan moralitas, mereka harus berani mempertanggungjawabkan pelanggarannya
itu.
9. Visi
Strategis (Strategis Vision)
Visi strategis
adalah pandangan-pandangan strategis untuk menghadapi masa yang akan dating.
Kualifikasi ini menjadi penting dalam rangka perwujudan good governance, karena
perubahan dunia dengan kemajuan teknologinya yang begitu cepat. Bangsa yang
tidak memiliki sensitifitas terhadap perubahan serta prediksi perubahan ke
depan, akan tertinggal oleh bangsa lain di dunia bahkan akan terperosok pada
akumulasi kesulitan, sehingga proses recovery-nya tidak mudah.
Untuk mewujudkan
cita-cita good governance dengan
asas-asas fundamental yang telah dipaparkan diatas, setidaknya harus melakukan
5 aspek prioritas, yakni :
a.
Penguatan fungsi dan
peran Lembaga Perwakilan
Lembaga
pewakilan rakyat, yakni DPR, DPD, dan DPRD harus mampu menyarap dan mengartikulasikan
berbagai aspirasi masyarakat dalam berbagai bentuk program pembangunan yang
berorientasi pada kepentingan masyarakat, serta mendelegasikannya pada
eksekutif untuk merancang program-program operasional sesuai rumusan-rumusan
yang ditetapkan dalam lembaga perwakilan tersebut.
b.
Kemandirian lembaga peradilan
untuk mewujudkan
good governance lembaga peradilan da aparat penegak hukum mandiri,
profesional dan bersih menjadi persyaratan mutlak.
c.
Aparat pemerintah yang
professional dan penuh integrias
Jajaran
birokrasi harus diisi oleh mereka yang memiliki kemampuan profesionalitas baik,
memiliki integritas, berjiwa demokratis, dan memiliki akuntabilitas yang kuat
sehingga memperoleh legitimasi dari rakyat yang dilayaninya.karena itu
paradigma pengembangan birokrasi ke depan harus diubah menjadi birokrasi
populis, yakni birokrasi yang peka terhadap aspirasi dan kepentingan rakyat,
serta memiliki integritas untuk memberikan pelayanan kepada rakyatnya dengan
pelayanan yang prima.
d.
Masyarakat madani (Civil
society) yang kuat dan partisipatif
Perwujudan cita
good governance juga mensyaratkan partisipasi masyarakat sipil yang kuat.
Proses pembangunan dan pengelolaan Negara tanpa melibatkan masyarakat madani
akan sangat lamban, karena potensi terbesar dari sumber daya manusia justru ada
di kalangan masyarakat
e.
Penguatan upaya otonomi daerah
Pada era
reformasi ini, para pengelola Negara telah melahirkan UU No. 22 tahun 1999,
tentang otonomi daerah dan memberikan kewenangan pada daerah untuk melakukan
pengelolaan sektor-sektor tertentu, seperti sektor kehutanan, pariwisata,
koperasi, pertanian, pendidikan dan lainnya. Dengan demikian, daerah akan
menjadi kuat dan dinamis, terutama daerah-daerah yang miskin dengan SDA nya, karena harus
memacu pendapatan asli daerah untuk membiayai kehidupan daerahnya.
C.
INDIKATOR-INDIKATOR GOOD GOVERNANCE
Dalam praktek Good Governance perlu dikembangkan indikator keberhasilan
pelaksanaan Good Governance. Adapun indikator keberhasilan tersebut terbagi
menjadi 2 yaitu :
a.
Secara umum : Tujuan pembangunan tercapai.
Apakah pembangunan di Indonesia sudah berjalan sesuai dengan konsep dan
apakah pembangunan sudah merata diseluruh tempat di Indonesia ?
Jika kita telaah kembali, pembangunan yang selama ini disebutkan hanya
untuk keuntungan kaum elite saja, tetapi bagi kaum rendahan pembangunan itu
hanyalah sebuah bualan guna keuntungan pribadi kaum elite yang mengatas namakan
rakyat kecil.
Di Indonesia bisa dilihat pembangunan hotel-hotel berbanding terbalik
dengan pembangunan sekolah-sekolah. Indonesia dikatakan negara yang sedang
dalam proses pembangunan. Namun tahukah kalian arti membangun yang mereka
katakan, hal itu tak lain adalah pembangunan hotel-hotel, mall-mall sebagai
fasilitas orang-orang kaya yang sekiranya aliran uang kaum elite sangat
menguntungkan bagi mereka. Akibat adanya pembangunan ini, banyak rakyat kecil
yang dirugikan sebagai contohnya penggusuran rumah karena tanahnya akan dipakai
untuk pembangunan mall-mall. Sehingga jika membicarakan indikator pem-bangunan
ini, maka kurang tepatlah jika dikatakan tujuan pembangunan di Indonesia sudah
tercapai.
b.
Secara khusus : berdasarkan tujuan
reformasi (Tap MPR 8/98) yaitu :
1. Mengatasi
krisis ekonomi (Stabilitas moneter tercapai).
Krisis moneter yang melanda Indonesia pada awal masa reformasi, telah
mendorong bangsa Indonesia untuk melakukan perbaikan secara keseluruhan
terutama dalam bidang ekonomi. Adapun penyebab terjadinya Krisis
Moneter di Indonesia yaitu :
1. Stok hutang luar negeri swasta
yang sangat besar dan umumnya berjangka pendek, telah menciptakan kondisi bagi
“ketidakstabilan”. Hal ini diperburuk oleh rasa percaya diri yang berlebihan,
bahkan cenderung mengabaikan, dari para menteri dibidang ekonomi maupun
masyarakat perbankan sendiri menghadapi besarnya serta persyaratan hutang
swasta tersebut.
2. Banyaknya kelemahan dalam sistem
perbankan di Indonesia. Dengan kelemahan sistemik perbankan tersebut, masalah
hutang swasta eksternal langsung beralih menjadi masalah perbankan dalam
negeri.
3. Sejalan dengan makin tidak
jelasnya arah perubahan politik, maka isu tentang pemerintahan otomatis
berkembang menjadi persoalan ekonomi pula.
Dengan
pelaksanaan good governance, perbaikan yang secara menyeluruh dalam waktu yang
lama, bisa memulihkan kembali stabilitas ekonomi walaupun tidak seperti sedia
kala. Cara-cara pemerintahan yang baik dalam mengatasi pemerintahan bisa dengan
cara menurunkan harga barang-barang pokok, meningkatkan hasil sumber daya alam
untuk peningkatan ekspor supaya bisa membayar hutang, atau dengan menjual aset
negara seperti yang dilakukan presiden Indonesia ke-5 Megawati Soekarno Putri.
2. Terpenuhi
kedaulatan rakyat. Mencakup 3 bagian yaitu :
a.
Seluruh sendi
kehidupan masyarakat
b.
Berbangsa,
bernegara, partisipasi politik rakyat
c.
Menjaga stabilitas politik.
Dalam pembukaan Forum yang diadakan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan
bahwa “Jika Politik tidak stabil, Ekonomi kita tertinggal dengan Singapura,
Malaysia, Myanmar, Philipina, Brunei dan teman-teman kita di ASEAN lainnya ”.
Hal ini jelas benar karena dunia politik sangat berhunbungan erat dengan
ekonomi. Di Indonesia, politik tidak mencapai kestabilannya. Hal ini ditandai
dengan banyaknya kasus Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang terungkap
keranah publik. Sehingga kepercayaan masyarakat kepada politikus semakin
berkurang hal inilah yang disebut dengan krisis kepercayaan, hal ini juga
menjadi salah satu yang menyebabkan stabilitas tak bisa tercapai.
3. Terpenuhi
hukum dan HAM.
Dalam pelaksanaan good governance hukum dijalankan tanpa pandang bulu
sehingga semua warga negara takut melanggar hukum. Tidak seperti pemerintahan
Indonesia yang dikatakan tajam kebawah tumpul keatas. Adapun maksudnya sangat
keras bagi orang-orang miskin namun sangat lemah bagi orang-orang kaya. Hukum
dengan mudahnya bisa dibeli bagi mereka yang punya uang, sehingga siapa yang
punya uang lebih banyak dialah yang berkuasa di negara Indonesia ini. Begitu
juga dengan Hak Asasi Manusia (HAM), dalam pelaksanaan good governance yang
sebenarnya tidak mudah bagi seseorang untuk merampas hak-hak seorang warga
negara karena memang hak mereka sangat diperhatikan oleh negaran
0 komentar:
Posting Komentar